Foto: aksi kamisan pekalongan raya ke 57
Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selalu menjadi momen krusial dalam sejarah hukum Indonesia, karena ia menentukan batas-batas kewenangan negara dalam memperlakukan warganya. KUHAP bukan sekadar perangkat prosedural; ia adalah arsitektur utama yang mengatur bagaimana negara menggunakan kekuasaan koersifnya. Ketika sebuah revisi KUHAP disahkan tanpa keterlibatan publik yang memadai, tanpa kajian kritis yang transparan, serta tanpa mengutamakan prinsip-prinsip HAM, maka legalitas tidak serta-merta menghadirkan legitimasi.
Dalam konteks ini, poster “KUHAP Disahkan, Demokrasi Dimakamkan” menggambarkan kecemasan kolektif bahwa pembaharuan hukum dapat berubah menjadi instrumen represif apabila tidak dibangun di atas asas akuntabilitas, proporsionalitas, dan partisipasi warga. Kritik tersebut bukan tanpa dasar: pengalaman historis Indonesia menunjukkan bahwa hukum kerap menjadi alat untuk mengamankan stabilitas semu, bukan keadilan substantif. Evelyn Z. Syarief (2019) mencatat bahwa aparat negara dapat memperluas kekuasaan koersif ketika norma hukum memberi celah interpretasi yang kabur dan minim mekanisme pengawasan.
Ketika masyarakat sipil menilai bahwa aturan baru justru memperlebar ruang kriminalisasi, memperketat kontrol negara terhadap kebebasan sipil, atau memberi kewenangan berlebihan kepada aparat, maka kekhawatiran terhadap “dimakamkannya demokrasi” bukanlah hiperbola, melainkan respons sosial terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi tidak hanya diukur dari pelaksanaan pemilu, tetapi juga dari sejauh mana hukum melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang.
Aksi Kamisan Pekalongan Raya, sebagaimana tradisi Aksi Kamisan sejak 2007, berfungsi sebagai ruang ekspresi damai yang mengingatkan negara bahwa luka pelanggaran HAM tidak boleh diulang. Mengangkat poster dengan pesan kuat seperti ini bukan sekadar retorika gerakan, tetapi cara untuk menegaskan bahwa hukum acara pidana yang sehat harus menjamin dua hal: pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan martabat manusia.
Secara teoretis, kritik terhadap hukum negara juga memiliki basis dalam pemikiran ilmiah. Michel Foucault (1977) menjelaskan bagaimana hukum dapat menjadi perpanjangan dari relasi kuasa yang tidak seimbang. Sementara itu, Herbert Packer (1968) dalam teorinya mengenai crime control model dan due process model menunjukkan bahwa hukum mudah melenceng ke arah kontrol represif apabila tidak diimbangi mekanisme perlindungan hak individu. Dengan demikian, kerangka akademik ini memberi pijakan bahwa kekhawatiran publik terhadap revisi KUHAP merupakan respons rasional, bukan emosional semata.
Gerakan seperti Aksi Kamisan menjadi ruang penting dalam menjaga agar hukum tidak berjalan tanpa pengawasan moral publik. Ia adalah pengingat bahwa demokrasi mati bukan ketika kekuasaan tumbuh, tetapi ketika rakyat berhenti bersuara.
Daftar Pustaka
Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon Books, 1977.
Packer, Herbert. The Limits of the Criminal Sanction. Stanford: Stanford University Press, 1968.
Syarief, Evelyn Z. “Kekuasaan Aparat dan Problem Human Rights dalam Sistem Peradilan Pidana.” Jurnal HAM, Vol. 10, No. 2 (2019): 153–170.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2015.
Wahyono, Sigit Riyanto. “Demokrasi, Rule of Law, dan Perlindungan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Ilmu Hukum, 2020.
Komnas HAM. Laporan Tahunan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komnas HAM, berbagai edisi.
