José Alberto Mujica Cordano adalah sosok pemimpin yang kisah hidupnya menjadi simbol harapan, kejujuran, dan kesederhanaan di dunia modern yang kerap dipenuhi oleh politik elitis dan gaya hidup mewah. Lahir pada 20 Mei 1935 di Montevideo, Uruguay, Mujica tumbuh dalam keluarga sederhana dan merasakan kerasnya kehidupan sejak kecil. Ayahnya yang seorang petani meninggal dunia ketika Mujica masih kecil, memaksanya untuk mengenal kerja keras dan mandiri sejak usia muda.
Pada dekade 1960-an, Uruguay dilanda ketimpangan sosial dan ekonomi. Dalam situasi itu, Mujica bergabung dengan kelompok gerilya urban bernama Tupamaros, yang mengusung ide perlawanan terhadap ketidakadilan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil. Kelompok ini menggunakan aksi radikal seperti merampok bank dan membagikan hasilnya kepada rakyat miskin. Namun, keterlibatan Mujica dalam gerakan ini membuatnya ditangkap dan dipenjara selama hampir 15 tahun, sebagian besar dihabiskan dalam sel isolasi yang keras. Pengalaman ini tidak memadamkan semangatnya, justru menjadi titik balik dalam hidupnya.
Setelah dibebaskan pada tahun 1985 seiring kembalinya demokrasi di Uruguay, Mujica meninggalkan jalan kekerasan dan memilih jalur politik formal. Ia menjadi salah satu pendiri Partai Gerakan Partisipasi Rakyat (MPP) yang kemudian bergabung dalam koalisi sayap kiri Frente Amplio. Keputusannya untuk terjun dalam politik tidak didorong oleh ambisi kekuasaan, melainkan oleh keinginan kuat untuk membawa perubahan nyata bagi rakyat.
Karier politik Mujica menanjak dari anggota parlemen, senator, hingga Menteri Pertanian. Puncaknya, pada tahun 2010, ia terpilih sebagai Presiden Uruguay. Di tengah kekuasaan tertinggi itu, Mujica justru menolak kehidupan mewah. Ia menyumbangkan hampir seluruh gajinya kepada lembaga amal dan tetap tinggal di rumah pertanian sederhana bersama istrinya, Lucia Topolansky. Bahkan, mobil sehari-harinya hanyalah sebuah Volkswagen Beetle tua. Karena gaya hidupnya ini, ia dijuluki “presiden termiskin di dunia”, meski bagi Mujica, kemiskinan bukan tentang materi, melainkan ketergantungan pada keinginan yang tak ada habisnya.
Kepemimpinan Mujica tidak hanya dikenal karena gaya hidupnya yang sederhana, tetapi juga karena kebijakan-kebijakan progresifnya. Selama menjabat, ia mendorong legalisasi pernikahan sesama jenis, aborsi, dan menjadi pelopor legalisasi serta regulasi ganja oleh negara. Ia percaya bahwa negara harus mengatur demi kesejahteraan dan kesehatan rakyat, bukan sekadar melarang tanpa solusi. Pandangannya tentang kebebasan individu, keadilan sosial, dan peran negara menunjukkan keberanian dan visi jauh ke depan.
Setelah masa jabatannya berakhir, Mujica kembali menjadi senator hingga akhirnya pensiun dari politik pada tahun 2020 karena alasan kesehatan dan usia lanjut. Namun, meski sudah tidak menjabat, pengaruh moral dan pemikirannya tetap hidup dan dikagumi banyak orang di seluruh dunia. Ia sering diundang untuk berbicara di forum-forum internasional, menyuarakan pentingnya kesederhanaan, tanggung jawab sosial, dan politik yang humanis.
Kisah José Mujica merupakan refleksi mendalam bahwa kekuasaan tidak harus merusak, dan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang hidup sesuai dengan nilai yang mereka perjuangkan. Dalam dunia yang sering dipenuhi kepalsuan dan kemewahan semu, Mujica tampil sebagai oase ketulusan dan keberanian moral. Ia bukan hanya milik Uruguay, tetapi juga simbol perlawanan terhadap sistem yang kerap melupakan manusia.
