Kronologi Perampasan Tanah Masyarakat Desa Rancapinang oleh TNI Angkatan Darat (TNI AD)
Oleh: Muhamad Hafidudin | Ketua Presidium Kumaung Pusat
Pada Rabu (04/06/2025), masyarakat Desa Rancapinang melakukan negosiasi dengan TNI Angkatan Darat (TNI AD) untuk meminta penghentian sementara aktivitas alat berat dan penebangan pohon yang dilakukan di atas tanah seluas 5 hektar milik 23 warga desa setempat. Menyikapi itu, 4 personil TNI AD dengan senjata laras panjang di tangan, menjawab secara arogan bahwa jika ingin melakukan negosiasi, lakukanlah negosiasi di kantor-kantor terkait, karena mereka mengaku hanya petugas lapangan.
Konflik ini bermula ketika TNI AD mengklaim sepihak tanah seluas 370 hektar di Desa Rancapinang dengan Sertifikat Hak Pakai (SHP) atas nama TNI AD yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pandeglang pada 2012. Klaim tersebut dinyatakan pertama kali dalam sosialisasi TNI AD kepada masyarakat Desa Rancapinang pada Minggu, 11 Mei 2025. Dalam sosialisasi tersebut, warga dengan tegas menolak klaim sepihak itu karena belum pernah menjual tanahnya kepada TNI AD. Warga mempertanyakan keabsahan SHP yang dimiliki TNI AD. Sementara itu, pihak TNI AD bersikukuh atas klaim tersebut dengan alasan bahwa TNI mengklaim bahwa masyarakat pernah melepaskan tanah tersebut sekitar tahun 1997 paska TNI berlatih di sana. Padahal pada saat itu, TNI hanya membayar ganti rugi kerusakan tanaman dan pepohonan sebagai dampak dari latihan, itupun hanya kepada sebagian warga.
Kepala Desa Rancapinang, Epan Kusmana, menegaskan bahwa tanah tersebut telah menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat secara turun-temurun, dan sejak dulu hingga tahun 2025 ini, Pajak Bumi Bangunan (PBB) atas tanah tersebut masih dibayar pribadi oleh penggarap. Mantan Kepala Desa sebelumnya, Warti, juga menyatakan bahwa selama masa jabatannya tidak pernah ada pemetaan atau persetujuan terkait penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan TNI AD.
Masyarakat terus mempertanyakan keabsahan SHP dengan meminta pihak-pihak terkait melakukan musyawarah. Akhirnya, pada Senin, 26 Mei 2025, dilakukan pertemuan antara pihak TNI AD, BPN Pandeglang, Kejari Pandeglang, Zibang, Kumkorem, Camat Cimanggu, perwakilan Bupati Pandeglang, dan Masyarakat Desa Rancapinang. Sebagaimana pertemuan sebelumnya, pihak TNI AD tetap mengklaim tanah dengan SHP yang dimilikinya. BPN beralasan bahwa atas nama etika, mereka tidak bisa memberitahukan alasan kenapa SHP tersebut bisa terbit. Sementara Kejari, Zibang, Kumkorem, Camat Cimanggu, dan perwakilan Bupati Pandeglang tidak memberikan pernyataan dukungan kepada siapapun, baik TNI AD atau masyarakat setempat. Pertemuan ini tidak membuahkan hasil yang jelas bagi masyarakat.
Besoknya (27/06/2025), masyarakat mendapatkan informasi bahwa TNI AD memanggil 23 warga pemilik 5 hektar tanah yang akan dibangun Pangkalan Militer ke Korem Pandeglang. Namun, warga tidak datang kesana karena pemanggilan tersebut dilakukan tanpa surat, masyarakat khawatir akan terjadi intimidasi untuk memaksa mereka melepaskan tanahnya.
Biadabnya, Pada Senin, 02 Juni 2025, secara tiba-tiba alias tanpa izin dan pemberitahuan kepada warga setempat, pihak TNI AD melakukan aktivitas alat berat dan penebangan pohon di atas tanah milik 23 warga seluas 5 hektar untuk membangun Pangkalan Militer. Aktivitas tersebut dikawal oleh 4 personil TNI dengan senjata laras panjang. Mendengar itu, tentu masyarakat merasa kaget dan takut untuk meminta menghentikan aktivitas tersebut. Namun akhirnya, pada hari ketiga aktivitas tersebut berlangsung (04/06/2025), sekitar 50 warga melakukan negosiasi dengan pihak TNI AD agar mereka menghentikan sementara aktivitas alat berat dan penebangan pohon sampai adanya kejelasan status tanah tersebut.
Menanggapi itu, 4 personil TNI AD menjawab dengan arogan, sambil menenteng senjata laras panjang, menyatakan bahwa jika ingin melakukan negosiasi, lakukanlah negosiasi di kantor-kantor terkait, karena mereka mengaku hanya petugas lapangan. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa negosiasi yang dilakukan oleh warga mengganggu kerja mereka. Beberapa warga yang merekam video bahkan diancam untuk dipecahkan handphone-nya. Kemudian, handphone warga direbut paksa oleh personil TNI AD yang kemudian menyulut amarah massa. Namun, amarah massa mampu diredam oleh beberapa warga yang mencoba menenangkan dengan menyatakan bahwa mereka sudah selesai melakukan negosiasi. Akhirnya, warga pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Sementara pihak TNI AD melanjutkan aktivitas alat berat dan penebangan pohon di tanah tersebut.
Besoknya (05/06/2025), datang sekitar 20 personil TNI bersenjata lengkap ke Desa Rancapinang dengan maksud yang kurang diketahui warga. Hingga kini, belum ada penyelesaian yang baik mengenai konflik agraria antara Masyarakat setempat dengan TNI AD. Masyarakat Desa Rancapinang masih mempertahankan tanahnya karena tidak merasa menjual kepada pihak TNI. Sementara itu, aktivitas alat berat dan penebangan pohon kelapa oleh pihak TNI AD itu masih terus berlanjut.
Land Reform: Tanah untuk Rakyat!
Jayalah Perjuangan Massa!
