"Bukan Ganti Sepatu, Tapi Bersihkan yang Kotor"
Di tengah ketidakpuasan terhadap kondisi politik dan pemerintahan, muncul gagasan untuk mendirikan partai baru seolah-olah itu satu-satunya solusi. Tapi benarkah jalan keluar dari krisis demokrasi adalah dengan terus menambah wadah politik? Ataukah justru kita sedang menghindari akar persoalan?
Peribahasanya sederhana: "Kalau sepatumu kotor, maka bersihkanlah, bukan malah beli sepatu baru." Karena membeli sepatu baru tanpa mengerti bagaimana cara menjaga kebersihan sepatu lama, hanya akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan sepatu yang baru pun akan kotor kembali dalam waktu singkat.
Masalah kita bukan kekurangan partai, melainkan kekurangan kedewasaan politik dan keberanian rakyat untuk berpikir kritis. Ketika suara rakyat bisa dibeli dengan sembako lima tahunan, ketika kebenaran dikalahkan pencitraan, maka berapa pun jumlah partai baru yang lahir, tetap akan menjadi ladang yang sama untuk benih-benih kebusukan.
Solusi bukan pada banyaknya pilihan, tapi pada meningkatnya kesadaran. Demokrasi tidak hanya butuh pemilu, tapi juga rakyat yang cerdas, aktif, dan berani bersuara. Sebagaimana disampaikan oleh Noam Chomsky, seorang intelektual terkemuka, bahwa "Jika kita tidak percaya pada kebebasan berekspresi untuk orang yang kita benci, maka kita tidak percaya pada kebebasan sama sekali." Artinya, demokrasi hidup bukan karena sistemnya, tapi karena rakyatnya.
Referensi kontekstual:
Robert A. Dahl, dalam bukunya "On Democracy", menekankan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan jika rakyatnya memiliki civic competence—yakni kecerdasan dan keterlibatan aktif dalam pengawasan kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, Daniel Dhakidae pernah mengkritik lahirnya banyak partai sebagai bentuk “fragmentasi tanpa ideologi.” Banyak partai berdiri hanya sebagai kendaraan politik, bukan sebagai alat perubahan.
Undang-undang Partai Politik (UU No. 2 Tahun 2011) menekankan pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat sebagai fungsi utama partai. Tapi bila fungsi ini gagal dijalankan, partai baru hanya menjadi pengganti kulit, bukan pengubah isi.
Kesimpulan:
Kita tidak sedang butuh wadah baru, tapi isi baru. Kita tidak butuh partai baru, tapi rakyat yang melek. Yang bersuara. Yang tak mudah ditipu. Demokrasi bukan soal mengganti kendaraan, tapi memastikan pengemudinya tahu arah dan tujuannya.
Karena jika rakyat tetap diam dan abai, partai apa pun tak akan membawa kita ke tempat yang lebih baik.
